Sejarah Pembukuan Ilmu Islam: Dari Sahabat Hingga Terbentuknya Fiqih dan Kalam


Pada masa awal Islam, di era para sahabat dan tabi'in, ilmu-ilmu syariat belum terorganisir dalam bentuk buku atau disiplin ilmu yang sistematis. Akidah mereka masih jernih dan murni berkat keberkahan hidup berdampingan dengan Nabi Muhammad SAW. Dengan minimnya perselisihan dan kemudahan untuk kembali merujuk kepada para ulama yang terpercaya, kebutuhan akan pembukuan ilmu dalam bab-bab dan pasal-pasal belum menjadi prioritas utama bagi umat.

Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi umat Islam mulai berubah secara drastis. Fitnah (konflik internal) dan kezaliman mulai muncul di kalangan para pemimpin. Perbedaan pendapat, kecenderungan pada bid'ah (inovasi dalam agama), dan hawa nafsu mulai merebak. Di samping itu, munculnya berbagai kasus dan kejadian baru menuntut umat untuk mencari panduan yang jelas. Situasi ini menciptakan kebutuhan mendesak bagi para ulama untuk menyusun dan mengorganisir ilmu-ilmu syariat agar tetap terjaga kemurniannya.

Menanggapi tantangan ini, para ulama di masa selanjutnya mengerahkan seluruh daya upaya mereka. Mereka melakukan penelitian mendalam, penalaran (istidlal), dan ijtihad untuk menarik kesimpulan hukum dari sumber-sumbernya. Upaya kolosal ini membuahkan hasil dengan disusunnya kaidah-kaidah dan dasar-dasar ilmu, serta pengorganisasiannya ke dalam bab dan pasal. Mereka memperkaya setiap pembahasan dengan dalil-dalil yang terperinci, memberikan jawaban atas syubhat (keraguan), menentukan istilah-istilah, dan menjelaskan berbagai mazhab serta perbedaan pendapat.

Dari upaya ini, lahirlah beberapa disiplin ilmu yang terstruktur, yang kemudian menjadi pilar utama dalam pemahaman Islam. Salah satunya adalah Ilmu Fiqih, yang didefinisikan sebagai ilmu yang memberikan pengetahuan tentang hukum-hukum praktis (amaliyyah) yang bersumber dari dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih berfungsi sebagai panduan praktis bagi umat dalam menjalankan syariat, seperti tata cara salat, puasa, dan muamalah.

Selanjutnya, untuk menjaga konsistensi dan metodologi dalam pengambilan hukum, para ulama mengembangkan Ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah umum yang digunakan untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil syariat. Ushul Fiqih menjadi fondasi metodologis yang memastikan proses ijtihad berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar.

Sementara itu, ilmu yang mengkaji keyakinan atau akidah dari dalil-dalilnya dinamai Ilmu Kalam. Nama ini disematkan karena beberapa alasan historis. Pada masa itu, pembahasan yang paling terkenal dan banyak memicu perdebatan adalah seputar al-kalam (firman Allah). Bahkan, sebagian penguasa di masa lalu sampai membunuh banyak ahli hakikat karena mereka tidak berpendapat dengan penciptaan Al-Qur'an.

Alasan lain penamaan Ilmu Kalam adalah karena ilmu ini melatih kemampuan berargumentasi dan membantah lawan bicara, layaknya ilmu logika (mantik) bagi filsafat. Ilmu Kalam menjadi ilmu pertama yang wajib dipelajari dan dikuasai melalui lisan, sehingga nama ini kemudian disematkan dan dikhususkan untuknya sebagai pembeda.

Dengan demikian, dari kebutuhan historis yang kompleks, para ulama berhasil membukukan dan mengorganisir ilmu-ilmu Islam menjadi disiplin yang terstruktur seperti Fiqih, Ushul Fiqih, dan Kalam. Pembukuan ini tidak hanya melindungi umat dari penyimpangan, tetapi juga memastikan warisan intelektual Islam terus berlanjut dan relevan sepanjang zaman.

Tags :