Pengertian Qolbu, Ruh, Akal dan Nafsu


Dalam konteks pemahaman agama Islam dan juga dalam beberapa tradisi spiritual lainnya, terdapat konsep-konsep seperti qolbu (hati), ruh (jiwa), akal (akal budi), dan nafsu (hawa nafsu) yang memainkan peran penting dalam pemahaman manusia tentang diri mereka dan hubungan mereka dengan Allah atau kekuatan spiritual lainnya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang masing-masing konsep:


Qolbu (Hati):

Dalam agama Islam, qolbu merujuk pada hati atau inti batiniah seseorang. Ini adalah tempat di mana iman, keyakinan, dan kecintaan kepada Allah dan ajaran-Nya berada. Hati dalam Islam dianggap sebagai pusat spiritualitas dan kesadaran. Kualitas hati yang bersih dan suci merupakan hal yang dihargai dalam agama ini. Hati yang benar-benar bersih akan selalu berusaha mendekatkan diri pada kebenaran, mencintai Allah dan sesama makhluk-Nya, serta menjalankan perintah-Nya.


Ruh (Jiwa):

Ruh adalah konsep yang mencakup aspek spiritual manusia. Dalam Islam, ruh dianggap sebagai sesuatu yang ditiupkan oleh Allah ke dalam tubuh manusia, sehingga menciptakan kehidupan. Ruh adalah aspek yang abadi dan tak terlihat dari manusia, yang berfungsi sebagai esensi keberadaan mereka. Saat seseorang meninggal, ruh dianggap berpisah dari tubuh fisik dan kembali kepada Allah. Ruh juga dipercaya sebagai tempat cinta, kebijaksanaan, dan keinginan spiritual.


Ruh terbagi ke dalam 4 bagian :


(1) Ruh Al-Qudsi (ruh termurni), yaitu ruh yang berada di alam lahut atau alam ma’rifat atau alam tertinggi. Ruh ini adalah hakikat manusia yang disimpan di dalam lubuk hati. Keberadaannya akan diketahui dengan taubat dan talqin kalimat “Laa Ilaaha Illalloh”. Ruh ini dinamakan oleh ahli Tashowuf sebagai bayi ma’nawi (thiflul ma’ani). Ruh inilah yang senantiasa akan mampu berhubungan dengan Alloh Swt sedangkan badan atau jasmani ini bukan mahromnya bagi Alloh. Ruh Al-Qudsi telah Alloh tempatkan di dalam rasa (sirri). Alatnya adalah ilmu hakikat, yaitu ilmu tauhid. Amalannya adalah mudawamah nama-nama Tauhid dengan lisan sir tanpa suara dan huruf. Siapapun tidak ada yang mampu melihat/menelitinya kecuali Alloh. Adapun keuntungannya yaitu keluarnya tiflul ma’ani, musyahadah serta terarah dan melihat kepada zat Alloh dalam keagungan-Nya dan dalam keindahan-Nya dengan penglihatan sirri.


(2) Ruh Sulthoni, adalah ruh yang memiliki lapisan (balutan cahaya) di alam jabarut. Tempat ruh ini adalah fuad (mata hati). Alatnya adalah ma’rifat dan amalannya adalah mudawamah asma Alloh dengan lisan dan hati (qolbu). Adapun keuntungan pengolahan dari ruh sultani adalah melihat pantulan “Jamalillah” (keindahan Alloh). Tempatnya adalah di sorga ketiga yaitu sorga firdaus.


(3) Ruh Sairani Rawani (ruh ruhani), adalah ruh yang memiliki lapisan (balutan cahaya) di alam malakut. Tempatnya adalah hati (qolbu). Alatnya adalah mudawamah asma’ul bathin tanpa suara dan huruf, hasilnya adalah ma’rifat kepada Alloh Swt, ilmu bathin, memperoleh ketenangan did lam bergaul, hidupnya hati dan musyahadah di alam malakut (seperti menyaksikan sorga dan ahlinya dan malaikat-malaikatnya). Tempatnya di akhirat adalah sorga tingkat ke dua yaitu sorga na’im.


(4) Ruh Jismani, adalah ruh yang memiliki lapisan (balutan cahaya) di alam mulki (alam terendah bagi ruh). Ruh jismani Alloh telah tempatkan di dalam jasad antara daging dan darah tepatnya di wilayah dada dan anggota badan yang zahir. Alat untuk mengolah ruh ini adalah syari’at, hasilnya adalah wilayah (pertolongan Alloh), mukasyafah (terbukanya hijab antara manusia dengan Alloh), dan musyahadah (merasa berhadap-hadapan dengan Alloh) begitupula karomatul kauniyah pada martabat kewalian seperti ; berjalan di atas air, terbang di udara, menyingkat jarak, mendengar dari jauh, melihat rahasia badan dsb. Keuntungan di akhirat akan ditempatkan di sorga ma’wa.


Setiap ruh itu mempunyai hanut (tempat) di daerah keberadaannya, dan bekal/alat pengolahannya dan keuntungan/hasil pengolahannya dan cara pengolahannya yang tidak pernah sia-sia yang diketahui secara tertutup (rahasia) maupun secara terbuka. oleh karena itu wajib bagi setiap manusia untuk mengetahui cara mengolah dirinya, sebab apa yang dilakukan di muka bumi ini akan diminta pertanggung jawabannya kelak di hari kiamat.


Tujuan utama didatangkannya manusia kea lam terendah adalah agar manusia berupaya kembali mendekatkan diri kepada Alloh dan mencapai darajat (kembalinya manusia ke tempat asalnya) dengan menggunakan hati (qolbu) dan jasad. Maka perlu ditanamkan bibit tauhid di lading hati agar tumbuh menjadi pohon tauhid yang akarnya tertanam di dalam rasa dan menghasilkan buah tauhid untuk mencapai ridho Alloh Swt.


Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyebut ruh atau hakikat Muhammad itu adalah akal.


Akal (Akal Budi):

Akal merujuk pada akal budi atau kemampuan berpikir manusia. Ini adalah potensi intelektual manusia untuk merenung, memahami, dan mengambil keputusan yang bijaksana. Dalam Islam, akal dianggap sebagai anugerah dari Allah yang harus digunakan dengan baik untuk memahami ajaran agama dan mengambil tindakan yang benar dalam hidup. Akal berperan penting dalam memahami agama, mengenali kebaikan dan kejahatan, serta mencari kebenaran dan hikmah di balik ciptaan Allah.


Nafsu (Hawa Nafsu):

Nafsu merujuk pada dorongan atau keinginan manusia yang berasal dari naluri dan keinginan primordialnya. Dalam agama Islam, nafsu bisa memiliki sifat yang baik (nafsu yang terpuji) atau buruk (nafsu yang tercela). Nafsu yang terpuji, misalnya, termasuk nafsu untuk mencari ilmu, melakukan amal kebajikan, atau mencintai Allah. Di sisi lain, nafsu yang tercela meliputi hal-hal seperti keserakahan, keinginan berlebihan, kebencian, dan kemaksiatan.


Dalam Islam, umat Muslim dianjurkan untuk mengendalikan dan menaklukkan nafsu yang tercela melalui pengendalian diri dan ketaatan pada ajaran agama. Dalam upaya mengendalikan nafsu yang negatif, manusia diharapkan untuk memberi perhatian pada hati dan jiwa, serta menggunakan akal budi mereka untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dengan begitu, mereka dapat mencapai keseimbangan spiritual dan mengarahkan diri mereka pada jalan kebenaran dan ketakwaan.


Dalam konteks Islam, "nafsu" mengacu pada kecenderungan atau dorongan batiniah manusia yang mendorongnya untuk mencari kepuasan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan duniawi dan nafsiyah. Nafsu ini dapat bersifat baik (nafsu amarah) atau buruk (nafsu keinginan) tergantung pada bagaimana nafsu tersebut diarahkan dan dikendalikan.


Nafsu Amarah: Nafsu amarah adalah dorongan batiniah yang mengarahkan manusia untuk bereaksi secara emosional, seperti amarah, kebencian, atau dendam. Nafsu amarah dapat membantu melindungi diri dari bahaya, tetapi jika tidak dikendalikan, dapat menyebabkan perilaku agresif atau merusak hubungan dengan orang lain.


Nafsu Keinginan: Nafsu keinginan adalah dorongan batiniah yang mendorong manusia untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat duniawi, seperti makanan, minuman, seks, harta, dan kenikmatan sensorik lainnya. Nafsu keinginan yang tidak terkontrol bisa menyebabkan perilaku yang berlebihan, ketamakan, kecanduan, atau perbuatan dosa.


Dalam ajaran Islam, penting bagi seorang Muslim untuk mengendalikan dan menundukkan nafsu-nafsu tersebut demi mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik. Penekanan diberikan pada kontrol diri, kesederhanaan, dan ketundukan pada kehendak Allah SWT. Menahan diri dari nafsu yang berlebihan dan berusaha hidup sesuai dengan ajaran agama adalah bagian penting dalam perjalanan spiritual dan keagamaan seorang Muslim.


Konsep nafsu juga memiliki arti yang lebih luas dalam berbagai tradisi keagamaan dan filosofis, di mana nafsu sering dihubungkan dengan aspek manusia yang bawah sadar atau hawa nafsu yang mengarahkan perilaku dan keputusan manusia. Oleh karena itu, pengendalian nafsu juga menjadi tema penting dalam berbagai disiplin ilmu dan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri.


Pembagian Nafsu


Dalam ajaran Islam, ada berbagai pembagian nafsu yang dapat membantu memahami kompleksitas aspek-aspek batiniah manusia. Selain pembagian tiga bagian nafsu yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga pembagian lain yang lebih rinci yang dikenal sebagai "Pembagian Nafsu al-Qalbiyah" atau Pembagian Nafsu Menurut Qalbu:


Nafs al-Ammarah bi al-Su' (نفس الأمارة بالسوء):

Nafs ini mencerminkan dorongan manusia yang cenderung kepada kejahatan, godaan dosa, dan perilaku buruk. Nafs al-Ammarah bi al-Su' sering dihubungkan dengan Nafs Ammarah yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu bagian nafsu yang penuh dengan hawa nafsu dan dorongan egois.


Nafs al-Lawwamah (نفس اللوامة):

Nafs ini adalah bagian nafsu yang merasa bersalah ketika melakukan dosa dan mendorong individu untuk merenungkan perbuatan buruk yang telah dilakukan. Ini juga sesuai dengan Nafs Lawwamah yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu bagian nafsu yang merasa gelisah karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan.


Nafs al-Mulhamah (نفس الملهمة):

Nafs ini mencerminkan bagian nafsu yang telah mendapatkan inspirasi atau petunjuk dari Allah SWT. Nafs al-Mulhamah merupakan langkah lebih maju dari Nafs Lawwamah, karena di sini individu mulai mendapatkan petunjuk dan inspirasi untuk berbuat baik dan mengarahkan diri menuju kebaikan.


Nafs al-Mutma'inna (نفس المطمئنة):

Nafs ini adalah tingkatan tertinggi dari pembagian nafsu menurut Qalbu. Nafs al-Mutma'inna adalah bagian nafsu yang mencerminkan ketenangan dan kedamaian jiwa. Individu yang mencapai tingkat ini merasa puas dan bahagia dengan kehendak Allah SWT dan hidup dalam ketaatan kepada-Nya.


Pembagian nafsu ini menggambarkan perjalanan spiritual seorang Muslim dari tingkat yang lebih rendah (Nafs al-Ammarah bi al-Su') menuju tingkat yang lebih tinggi (Nafs al-Mutma'inna) dalam mengembangkan hubungan yang lebih mendalam dengan Allah dan mencapai kedamaian batiniah. Setiap tahapan ini mencerminkan perjuangan dan usaha dalam mengatasi hawa nafsu dan mencapai pencerahan spiritual.


Tingkatan Nafsu


Adapun nafsu memiliki tingkatan-tingkatan. Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi membagi nafsu dalam 7 tingkatan yang dikenal dengan istilah “marotibun nafsi” yaitu terdiri dari :


(1) Nafsu Amaroh

Nafsu amaroh tempatnya adalah “ash-shodru” artinya dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Al-Bukhlu artinya kikir atau pelit

Al-Hirsh artinya tamak atau rakus

Al-Hasad artinya hasud

Al-Jahl artinya bodoh

Al-Kibr artinya sombong

Asy-Syahwat artinya keinginan duniawi


(2) Nafsu Lawwamah

Nafsu lawwamah tempatnya adalah “al-qolbu” artinya hati, tepatnya dua jari di bawah susu kiri. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Al-Laum artinya mencela

Al-Hawa artinya bersenang-senang

Al-Makr artinya menipu

Al-Ujb artinya bangga diri

Al-Ghibah artinya mengupat

Ar-Riya’ artinya pamer amal

Az-Zulm artinya zalim

Al-Kidzb artinya dusta

Al-ghoflah artinya lupa


(3) Nafsu Mulhimah

Nafsu mulhimah tempatnya adalah “Ar-ruh” tepatnya dua jari di bawah susu kanan. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


As-Sakhowah artinya murah hati

Al-Qona’ah artinya merasa cukup

Al-Hilm artinya murah hati

At-Tawadhu’ artinya rendah hati

At-Taubat artinya taubat atau kembali kepada Alloh

As-Shobr artinya sabar

At-Tahammul artinya bertanggung jawab


(4) Nafsu Muthmainnah


Nafsu muthmainnah tempatnya adalah “As-Sirr” artinya rahasia, tepatnya dua jari dari samping susu kiri kea rah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Al-Juud artinya dermawan

At-tawakkul artinya berserah diri

Al-Ibadah artinya ibadah

Asy-Syukr artinya syukur atau berterima kasih

Ar-Ridho artinya rido

Al-Khosyah artinya takut akan melanggar larangan


(5) Nafsu Rodhiyah


Nafsu rhodiyah tempatnya adalah “Sirr Assirr” artinya sangat rahasia, tepatnya di jantung yang berfungsi menggerakkan seluruh tubuh. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Al-Karom artinya

Az-Zuhd artinya zuhud atau meninggalkan keduniawian

Al-Ikhlas artinya ikhlas atau tanpa pamrih

Al-Waro’ artinya meninggalkan syubhat

Ar-Riyadhoh artinya latihan diri

Al-Wafa’ artinya tepat janji


(6) Nafsu Mardhiyah


Nafsu mardhiyah tempatnya adalah “Al-khofiy” artinya samar, tepatnya dua jari dari samping susu kanan ke tengah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Husnul Khuluq artinya baik akhlak

Tarku maa siwalloh artinya meninggalkan selain Alloh

Al-Luthfu bil kholqi artinya lembut kepada makhluk

Hamluhum ‘ala sholah artinya mengurus makhluk pada kebaikan

Shofhu ‘an dzunubihim artinya mema’afkan kesalahan makhluk

Al-Mail ilaihim liikhrojihim min dzulumati thoba’ihim wa anfusihim ila anwari arwahihim artinya mencintai makhluk dan cenderung perhatian kepada mereka guna mengeluarkannya dari kegelapan (keburukan) watak dan jiwa-jiwanya ke arah bercahayanya ruh-ruh mereka.


(7) Nafsu Kamilah


Nafsu kamilah tempatnya adalah “Al-Akhfa” artinya sangat samar, tepatnya di tengah-tengah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut :


Ilmu Al’Yaqiin

Ainul Yaqiin

Haqqul Yaqiin


QOLBU = RUH = AKAL = NAFSU


Kenapa dikatakan demikian, karena memang benar seperti itu adanya. Mari kita buktikan bersama apabila ada di hadapan kita sosok mayat. Apabila saya tanyakan, mayat ini sudah tidak ada apanya : qolbunya, ruhnya, akalnya atau nafsunya. maka pasti jawabannya : “semuanya”.


Tidak salah apabila ada yang mengatakan qolbunya yang tidak ada, karena ketika seseorang meninggal maka qolbunya yang selalu menjadi sumber perasa ketika masih hidup seperti ; sedih, senang, tentram, menyesal, marah maka setelah meninggal perasaan di mayat (jasad tanpa qolbu) itu hilang, dia tidak merasakan apa-apa lagi.


Tidak salah juga kalau orang berkata ruhnya yang tidak ada, karena ruh adalah nyawa bagi mayat itu. Setelah ruhnya tidak ada maka mayat (jasad tanpa ruh) itu tidak bernyawa lagi, tidak bernafas lagi, tidak berdetak lagi jantungnya serta nadinyapun tidak berdenyut lagi.


Apabila ada yang mengatakan akalnya yang tidak ada, maka ini juga betul karena setelah meninggalnya seseorang maka mayat (jasad tanpa akal) tersebut tidak akan berfikir lagi dan tidak akan faham lagi dengan ilmu-ilmu yang dulu pernah dipelajarinya selagi hidup.


Terakhir jika dikatakan yang tidak ada itu nafsunya, maka ini pun betul. Karena nafsu itu adalah unsur dalam jiwa orang yang masih hidup yang memiliki keinginan-keinginan baik maupun buruk. Dengan demikian setelah menjadi mayat maka tidak ada lagi pada mayat (jasad tanpa nafsu) itu nafsunya sehingga dia tidak memiliki keinginan apapun.


Sekarang dapat kita simpulkan kalau semua jawaban tersebut adalah benar, maka berarti keempat nama yang berbeda itu adalah satu, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Al-Ghozali r.a : qolbu, ruh, akal dan nafsu itu adalah satu. (syai’un wahidun).


Penutup


“sesungguhnya kami hanyalah Muballigh (orang yang menyampaiakan ilmu Alloh) dan Alloh sajalah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk”.


Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Mohonlah selalu akan petunjuk Alloh “ihdinasshirotol mustaqiim”.


Sumber :


  • Kitab Qothrul Ghoits
  • Kitab Bidayatussalikiin
  • Kitab Sirrul Asror
  • Taushiyah Ajengan Zezen BA (Ketua MUI Sukabumi)
  • Artikel By : Ujang Abdurrahman Asy-Syamarokiy

Tags :