Perbedaan Syara’i dan Qawa’id: Makna, Contoh, dan Hubungannya dengan Ilmu Kalam
Syara’i dan Qawa’id dalam Islam: Pengertian, Dasar Hukum, dan Kedudukannya
Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah syara’i dan qawa’id sering muncul, terutama dalam kajian ilmu fikih, ushul fikih, maupun ilmu kalam. Keduanya memiliki kedudukan penting dalam memahami ajaran Islam secara menyeluruh, namun makna dan penggunaannya berbeda. Memahami perbedaan ini akan membantu kita mengenali fondasi syariat sekaligus metode berpikir dalam menguraikan hukum-hukum agama.
Makna Syara’i
Kata syara’i merupakan bentuk jamak dari syari’ah. Secara bahasa, syari’ah berarti jalan yang jelas atau tempat sumber air. Dalam konteks syariat Islam, makna ini bergeser kepada hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya. Umumnya, yang dimaksud dengan syara’i adalah hukum-hukum cabang (furū’iyyah), yakni aturan praktis yang mengatur ibadah maupun muamalah.
Cakupan Syara’i
Sebagian ulama memperluas makna syara’i sehingga mencakup hukum-hukum asal (ashliyyah) dan hukum cabang. Karena itu, ketika istilah al-ahkām (hukum-hukum) disebut setelah syara’i, ia berfungsi sebagai penafsiran atau pengkhususan dari makna yang lebih umum. Intinya, syariat dalam hakikatnya adalah ketetapan ilahi yang menjadi pedoman hamba dalam akidah, ucapan, maupun perbuatan.
Makna Qawa’id
Berbeda dengan syara’i, istilah qawa’id secara bahasa berarti dasar. Dalam istilah ilmu, ia merujuk pada kaidah universal (qadhiyyah kulliyyah) yang dari sana bisa diturunkan hukum-hukum bagian yang lebih spesifik. Dengan kata lain, qawa’id berfungsi sebagai prinsip umum yang menjadi pijakan dalam memahami banyak cabang hukum.
Contoh Qawa’id
Salah satu contoh kaidah dalam akidah adalah pernyataan: “Setiap sifat kesempurnaan ditetapkan bagi Allah Ta’ala.” Dari kaidah ini, bisa dipahami bahwa sifat ilmu, kekuasaan, dan kehidupan wajib ditetapkan bagi Allah. Dengan demikian, qawa’id bukanlah sekadar teori, melainkan fondasi rasional yang mengarahkan penetapan hukum secara lebih sistematis.
Qawa’id dalam Akidah Islam
Kaidah-kaidah dalam akidah Islam disebut sebagai masalah-masalah dasar (ushūliyyah). Ia menjadi landasan penting dalam menyimpulkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, ilmu kalam memiliki posisi sentral, sebab ia berfungsi menjelaskan, mengukuhkan, dan melindungi kaidah-kaidah tersebut dari keraguan atau kekeliruan pemahaman.
Hubungan Syara’i dan Qawa’id dengan Ilmu Kalam
Jika syara’i berkaitan langsung dengan hukum-hukum yang bersifat praktis maupun teoretis, maka qawa’id memberikan kerangka berpikir universal yang menopang syariat. Kedua istilah ini saling berhubungan erat, dan pusatnya ada pada ilmu kalam. Ilmu kalam menjadi dasar bagi kaidah-kaidah akidah, sekaligus penjaga kemurnian tauhid dan sifat-sifat Allah.
Ilmu Kalam sebagai Asas al-Asas
Menurut pandangan sebagian ulama, dasar dari seluruh hukum adalah Al-Qur’an dan Sunah. Namun, dasar dari pemahaman Al-Qur’an dan Sunah sendiri adalah ilmu kalam. Karena itu, ilmu kalam sering disebut sebagai asās al-asās (dasar dari segala dasar). Dari sinilah para ulama menyusun kaidah-kaidah akidah, yang kemudian menjadi pegangan dalam menjabarkan hukum-hukum syariat.
Kesimpulan
Perbedaan utama antara syara’i dan qawa’id terletak pada ruang lingkupnya. Syara’i lebih merujuk pada hukum-hukum yang ditetapkan Allah, baik yang bersifat pokok maupun cabang, sementara qawa’id adalah kaidah-kaidah universal yang digunakan untuk memahami hukum-hukum tersebut. Keduanya tidak bisa dipisahkan, sebab sama-sama bermuara pada Al-Qur’an, Sunah, dan ilmu kalam sebagai pondasi utama.
Tags : Ilmu Kalam Ilmu Tauhid
